Laman

Selasa, 27 Desember 2011

SERTIFIKASI TANAH WAKAF II

SERTIFIKASI TANAH WAKAF
( Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Sertifikasi Tanah Wakaf )

Bab I
Pendahuluan
A). Latar Belakang Masalah
Hubungan manusia dengan tanah adalah merupakan hubungan yang bersifat abadi, baik manusia sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Selamanya tanah selalu dibutuhkan dalam kehidupannya, misalnya untuk tempat tinggal, lahan pertanian, tempat peribadatan, tenpat pendidikan, dan sebagainya sehingga segala sesuatu yang menyangkut tanah akan selalu mendapat perhatian.
Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, tanah menempati kedudukan penting dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih lagi bagi rakyat pedesaan yang pekerjaan pokoknya adalah bertani, berkebun, atau berladang, tanah merupakan tempat bergantung hidup mereka.
Sebagai warga negara Indonesia yang baik, seseorang dituntut untuk melakukan sesuatu menurut ketentuan hukum yang berlaku. Demikian juga dengan urusan kekayaan atau kepemilikan lainnya seperti tanah harus dilakukan suatu pencatatan agar kelak dikemudian hari tidak menimbulkan suatu sengketa. Sebab, masalah tanah merupakan hal yang krusial dan sering dapat menimbulkan potensi sengketa yang berkepanjangan.
Pendaftaran tanah merupakan salah satu usaha dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut. Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah, maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui status atau kedudukan hukum pada tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas, dan batas-batasnya, siapa yang mempunyai dan beban-beban apa yang ada diatasnya.
Di Indonesia masalah pertanahan memperoleh kedudukan yang penting. Gagasan luhur penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk kesejahteraan masyarakat tertuang dalam pasal 33 ayat (3) UUD’45 dan amandemen, yang berbunyi :
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Pengaturan tentang pertanahan tersebut selanjutnya diatur dalam undang-undangan tersendiri yaitu Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria pasal 49, serta sejumlah peraturan lain sesudahnya, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004.

B). Tujuan
Tujuan penulis dalam pembuatan makalah yang bertemakan hukum tentang sertifikasi tanah wakaf antara lain :
1.      Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui bagaimana tata cara pelaksanaan perwakafan tanah hak milik.
b. Untuk mengetahui syarat-syarat wakaf dan macam-macam harta yang diwakafkan.
c. Untuk mengetahui bagaimana kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pesertifikatan tanah wakaf setelah berlakunya UU No. 41Tahun 2004.
2.      Tujuan Subyektif
a. Untuk Menambah wawasan dan mengembangkan ilmu pengetahuan khusunya bidang ilmu hukum islam.

C). Pokok Permasalahan
            Dalam makalah ini terdapat beberapa permasalahan mengenai hukum sertifikasi tanah wakaf, antara lain :
  1. Apa yang dimaksud dengan wakaf dan syarat apa saja yang diperlukan agar menjadi seorang wakif?
  2. Banyaknya masyarakat yang kurang mengerti bagaimana tata cara pelaksanaan perwakafan tanah hak milik?
  3. Kurang mengertinya warga masyarakat akan pentingnya sertifikasi tanah? 
  4. Bagaimana tata cara pengaturan tanah wakaf yang baik dan benar?

Bab II
Isi
Ditinjau dari segi bahasa wakaf berarti menahan. Sedangkan menurut istilah syarak, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.
Ada beberapa pengertian tentang wakaf antara lain:
Pengertian wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa
Pengertian wakaf menurut mazhab hanafi adalah menahan harta-benda sehingga menjadi hukum milik Allah ta’alaa, maka seseorang yang mewakafkan sesuatu berarti ia melepaskan kepemilikan harta tersebut dan memberikannya kepada Allah untuk bisa memberikan manfaatnya kepada manusia secara tetap dan kontinyu, tidak boleh dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan
Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk dijual ayau dihibahkan. Definisi ini berbeda dengan definisi yang dikeluarkan oleh Abu Yusuf dan Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah itu sendiri
Pengertian wakaf menurut mazhab maliki adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat
Pengertian wakaf menurut peraturan pemerintah no. 28 tahun 1977 adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya. Bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Dari definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, mislanya tanah, bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.
Bagi seorang calon wakif atau ahli waris wakif, ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum melaksanakan ikrar wakaf atau mendaftarkan wakaf tanah yaitu mengadakn musyawarah dengan segenap anggota keluarga wakif atau ahli waris wakif, juga dengan nadhir yang ditunjuk dengan lembaga yang menerima manfaar harta wakaf (mauquf’alaih). Dalam hal ini dianjurkan melibatkan perangkat desa yang memahami dan dapat membantu proses selanjutnya, sebelum diajukan ke Pejabat Pembuat Akta Tanah Ikrar Wakaf (PPAIW).
Kemudian Calon wakif dari pihak yang hendak mewakafkan tanah miliknya harus datang dihadapan Pejabat Pembantu Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan ikrar wakaf. Untuk mewakafkan tanah miliknya, calon wakif harus mengikrarkan secara lisan, jelas dan tegas kepada nadir yang telah disyahkan dihadapan PPAIW yang mewilayahi tanah wakaf. Pengikraran tersebut harus dihadiri saksi-saksi dan menuangkannya dalam bentuk tertulis atau surat. Calon wakif yang tidak dapat datang di hadapan PPAIW membuat ikrar wakaf secara tertulis dengan persetujuan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya yang mewilayahi tanah wakaf. Ikrar ini dibacakan kepada nadir dihadapan PPAIW yang mewilayahi tanah wakaf serta diketahui saksi. Tanah yang diwakafkan baik sebagian atau seluruhnya harus merupakan tanah milik. Tanah yang diwakafkan harus bebas dari bahan ikatan, jaminan, sitaan atau sengketa. Saksi ikrar wakaf sekurang-kurangnya dua orang yang telah dewasa, dan sehat akalnya. Segera setelah ikrar wakaf, PPAIW membuat Akta Ikrar Wakaf Tanah.
Untuk mengurus dan mengelola tanah wakaf, keluarga wakif atau ahli waris wakif membentuk dan menunjuk nadhir. Dimana nadhir dituntut untuk melaksanakan tugasnya secara profesional dan transparan. Untuk itu pemerintah membuat peraturan tentang penunjukan nadhir dengan maksud agar dapat meningkatkan manfaat hanrta benda wakaf dan dapat dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat. Nadhir mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan.

1. Hak Nadir 
  1. Nadir berhak menerima penghasilan dari hasil tanah wakaf yang biasanya ditentukan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya. Dengan ketentuan tidak melebihi dari 10 % ari hasil bersih tanah wakaf 
  2. Nadir dalam menunaikan tugasnya dapat menggunakan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya.

2. Kewajiban Nadir
Kewajiban nadir adalah mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya, antara lain:
a)    menyimpan dengan baik lembar kedua salinan Akta Ikrar Wakaf
b)   memelihara dan memanfaatkan tanah wakaf serta berusaha meningkatkan hasilnya
c)    menggunakan hasil wakaf sesuai dengan ikrar wakafnya.
Mengatur wakaf akan ditangguhkan kepada nadhir agar tujuan wakaf dapat tercapai dengan baik, apabila faktor-faktor pendukungnya ada dan berjalan. Misalnya nadir atau pemelihara barang wakaf. Wakaf yang diserahkan kepada badan hukum biasanya tidak mengalami kesulitan. Karena mekanisme kerja, susunan personalia, dan program kerja telah disiapkan secara matang oleh yayasan penanggung jawabnya.
Pengaturan wakaf ini sudah barang tentu berbeda-beda antara masing-masing orang yang mewakafkannya meskipun tujuan utamanya sama, yaitu demi kemaslahatan umum. Penyerahan wakaf secara tertulis diatas materai atau denagn akta notaris adalah cara yang terbaik pengaturan wakaf. Dengan cara demikian, kemungkinan penyimpangan dan penyelewengan dari tujuan wakaf semula mudah dikontrol dan diselesaikan. Apalagi jika wakaf itu diterima dan dikelola oleh yayasan-yayasan yang telah bonafide dan profesional, kemungkinan penyelewengan akan lebih kecil.

Bab III
Penutup
A). Kesimpulan
Dari makalah yang di sampaikan oleh penulis dapat disimpulkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif (pewakaf) untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya. Wakaf bertujuan untuk kepentingan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah serta sertifikasi tanah wakaf sangat diperlukan demi tertib administrasi dan kepastian hak bila terjadi sengketa atau masalah hukum.

B). Saran
            Penulis meyarankan agar calon wakif atau calon ahli waris wakif mengetahui hal-hal apa saja yang diperlukan dalam melakukan perwakafan, seperti syarat-syarat yang harus di penuhi calon wakif, rukun wakif, dan tata cara perwakafan tanah hak milik agar tidak tejadi sengkata atau permasalahan hukum dan mendapat kepastian hukum serta mengikuti prosedur wakaf tanah yang terdapat pada Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan UU no 41 tahun 2004.

Daftar Pustaka
1. Amin, Nasichun. 2010. Hukum Wakaf dan Sertifikasi Tanah Wakaf. Gresik : Pimpinan Daerah
             Dewan Masjid Indonesia (DMI).

Sumber Internet
www.google.com
www.id.wikipedia.org
www.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar