Laman

Kamis, 29 Desember 2011

Apakah Teori Itu?


Apakah Teori Itu ?
Tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk  mengembangkan teori yang masuk akal dan dapat dipercaya. Hanya dengan melakukan sebuah teori, pertanyaan-pertanyaan dasar mengenai situasi sosial yang ada dalam kehidupan manusia dapat terjawab dan dapat teratasi. Kerena itu, sebelum berbicara tentang teori-teori dalam sosiologi, maka ada baiknya kita uraikan secara singkat terlebih dahulu tentang pengertian teori, dan fungsi teori.

v  Pengertian Teori
Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah. Labovitz dan Hagedorn mendefinisikan teori sebagai ide pemikiran “pemikiran teoritis” yang mereka definisikan sebagai “menentukan” bagaimana dan mengapa variable-variabel dan pernyataan hubungan dapat saling berhubungan.
Pada buku karangan Soerjono Soekanto yang berjudul “Sosiologi Suatu Pengantar” dijelaskan bahwa Teori pada hakikatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut dapat merupakan suatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris. Oleh sebab itu, dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih, yang telah diuji kebenarannya. Seuatu “ variabel” merupakan karakteristik dari orang-orang, benda-benda, atau keadaan yang mempunyai nilai-nilai yang berbeda misalnya usia, jenis kelamin, dan lain sebagainya.
Kata Teori memiliki arti yang berbeda-beda pada pandangan bidang-bidang pengetahuan yang berbeda pula, tergantung pada metodologi dan konteks yang sedang didiskusikan. Secara umum, Teori merupakan analisis hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain pada sekumpulan fakta-fakta. Selain itu,  berbeda dengan torema, pernyataan teori umumnya hanya diterima secara “sementara” dan bukan merupakan pernyataan akhir yang konklusif. Hal ini mengindikasikan bahwa teori berasal dari penarikan kesimpulan yang memiliki potensi kesalahan, berbeda dengan penarikan kesimulan pada pembuktian matematika.
Sedangkan secara lebih spesifik di dalam ilmu sosial, terdapat pula teori sosial. Neuman mendefiniskan teori sosial adalah sebagai sebuah sistem dari keterkaitan abstraksi atau ide-ide yang meringkas dan mengorganisasikan pengetahuan tentang dunia sosial. Perlu diketahui bahwa teori berbeda dengan idiologi, seorang peniliti terkadang bias dalam membedakan antara teori dengan idiologi. Terdapat kesamaan diantara keduanya, tetapi jelas mereka berbeda. Teori dapat merupakan bagian dari ideologi, tetapi ideologi bukanlah teori. Contohnya adalah Aleniasi manusia adalah sebuah teori yang diungkapkan oleh Karl Marx, tetapi Marxis atau Komunisme secara keseluruhan adalah sebuah ideologi.
Teori dalam ilmu pengetahuan mempunyai arti yaitu model atau kerangka pikiran yang menjelaskan fenomena alami atau fenomena sosial tertentu. Teori dirumuskan, dikembangkan, dan dievaluasi menurut metode ilmiah. Teori juga merupakan suatu hipotesis yang telah terbukti kebenarannya. Manusia membangun teori  untuk menjelaskan, meramalkan, dan menguasai fenomena tertentu kejadian misalnya, benda-benda mati, kejadian-kejadian di alam, atau tingkah laku hewan. Sering kali, teori dipandang sebagai model atas kenyataan misalnya, apabila kucing mengeong berarti dia lapar atau minta makan. Sebuah teori membentuk generalisasi atas banyak observasi dan terdiri atas kumpulan ide-ide yang koheren dan saling berkaitan. Istilah teoritis dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang diramalkan oleh suatu teori namun belum pernah terobservasi. Sebagai contoh, sampai dengan akhir-akhir ini, lubang hitam dikategorikan sebagai teoritis karena diramalkan menurut teori revativitas umum tetapi belum pernah teramati di alam. Terdapat miskonsepsi yang menyatakan apabila sebuah teori ilmiah telah mendapatkan cukup bukti dan telah teruji oleh para peneliti lain tingkatannya akan menjadi hukum ilmiah. Hal ini tidaklah benar karena definisi hukum ilmiah dan teori ilmiah itu berbeda. Teori akan tetap menjadi teori, dan hukum akan tetap manjadi hukum.
Di dalam sebuah teori terdapat beberapa elemen yang mengikutinya. Elemen ini berfungsi untuk mempersatukan variabel-variabel yang terdapat di dalam teori tersebut. Elemen pertama yaitu konsep. Konesep adalah sebuah ide yang diekpresikan dengan symbol atau kata. Konsep dibagi dua yaitu, simbol dan definisi.Dalam ilmu alam konsep dapat diekspresikan dengan simbol-simbol seperti, ”∞” = tak terhingga, ”m”= Massa, dan lainya. Akan tetapi, kebanyakan di dalam ilmu sosial konsep ini lebih diekpresikan dengan kata-kata tidak melalui penggunaan simbil-simbol. Menurut Neuman, kata-kata juga merupakan simbol bahasa itu sendiri adalah simbol. Karena mempelajari konsep dan teori seperti mempelajari bahasa. Konsep selalu ada dimanapun dan selalu kita gunakan. Misalnya kita membicarakan pendidikan. Pendidiakn merypakan suatu konsep dan merupakan ide abstrak yang hanya didalam pikiran kita saja.
Elemen yang kedua adalah Scope. Dalam teori seperti ini yang dijelaskan di atas memiliki konsep. Konsep ini ada yang bersifat abstrak dan ada juga yang bersifat kongkret. Teori dengan konsep-konsep yang abstrak dapat diaplikasikan terhadap fenomena sosial yang lebih luas, dibandingkan denga teori yang memiliki konsep-konsep yang kongkret. Contohnya, teori yang diungkapkan oleh Lord Acton “kekuasaan cenderung dikorupsikan”. Dalam hal ini lingkup kongkret seperti Presiden, Raja, Jabatan ketua dan lanin sebagainya dan korupsi dalam lingkup kongkret seperti korupsi uang.
Elemen ketiga adaah relationship. Teori erupakan sebuah relasi dari konsep-konsep atau secara lebih jelasnya teori merupakan bagaimana konsep-konsep berhubungan. Hubungan ini seperti pernyataan sebab-akibat (casual statment) atau proposisi. Proposisi adalah sebuah pernyataan teoritis yang mempericikan hubungan anara dua atau lebih variabel, memberitahu kita bagaimana variasi dalam suatu konsep dipertanggung jawabkan oleh variasi dalam konsep lainnya. Ketika seorang peneliti melakukan tes empiris atau mengevaluasi sebuah hubungan itu, maka hal itu disebut sebuah hipotesa. Sebuah teori sosial juga terdiri dari sebuah mekanisme sebab-akibat, atau alasan dari sebuah hubungan, sdeangkan mekanisme sebab-akibat adalah suatu pernyataan bagaimana sesuatu bekerja.

v Pengertian Teori Menurut Pandangan Para Ahli
1.      Menurut Turner, teori merupakan proses mental untuk membangun ide sehingga ilmuwan dapat menjelaskan mengapa peristiwa itu terjadi (Sunarto, 2000: 225).
2.      Menurut Kornblum,teori merupakan seperangkat jalinan konsep untuk mencari sebab terjadinya gejala yang diamati. Dalam proses pencarian sebab ini, para ilmuwan membedakan antara faktor yang dijelaskan dengan faktor penyebab.
3.      Menurut Soerjono Soekanto (2000: 27), suatu teori pada hakikatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris. Oleh sebab itu dalam bentuk yang paling sederhana, teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya.

v Teori-Teori Sosiologi
Dalam sosiologi terdapat banyak teori-teori yang muncul sebagai akibat adanya suatu kejadian, proses sosial, fenomena sosial yang terjadi di dalam lingkup masyarakat. Teori-teori yang bermunculan tersebut banyak dikemukakan oleh para ahli filsafat untuk membedah fenomena sosial yang tejadi dalam masyarakat. Dalam hal ini akan dipaparkan beberapa teori yang berpengaruh dalam sosiologi, antara lain :
1.      Auguste Comte
Auguste Comte (1798-1857) sangat prihatin terhadap anarkisme yang merasuki masyarakat saat berlangsungnya Revolusi Perancis. Oleh karena itu Comte kemudian mengembangkan pandangan ilmiahnya yakni positivisme atau filsafat sosial untuk menandingi pemikiran yang dianggap filsafat negatif dan destruktif. Positivisme mengklaim telah membangun teori-teori ilmiah tentang masyarakat melalui pengamatan dan percobaan untuk kemudian mendemonstrasikan hukum-hukum perkembangan sosial. Aliran positivis percaya akan kesatuan metode ilmiah akan mampu mengukur secara objektif mengenai struktur sosial.
Sebagai usahanya, Comte mengembangkan fisika sosial atau juga disebutnya sebagai sosiologi. Comte berupaya agar sosiologi meniru model ilmu alam agar motivasi manusia benar-benar dapat dipelajari sebagaimana layaknya fisika atau kimia. Ilmu baru ini akhirnya menjadi ilmu dominan yang mempelajari statika sosial (struktur sosial) dan dinamika sosial (perubahan sosial).
Comte percaya bahwa pendekatan ilmiah untuk memahami masyarakat akan membawa pada kemajuan kehidupan sosial yang lebih baik. Ini didasari pada gagasannya tentang Teori Tiga Tahap Perkembangan Masyarakat, yaitu bahwa masyarakat berkembang secara evolusioner dari tahap teologis (percaya terhadap kekuatan dewa), melalui tahap metafisik (percaya pada kekuatan abstrak), hingga tahap positivistik (percaya terhadap ilmu sains). Pandangan evolusioner ini mengasumsikan bahwa masyarakat, seperti halnya organisme, berkembang dari sederhana menjadi rumit. Dengan demikian, melalui sosiologi diharapkan mampu mempercepat positivisme yang membawa ketertiban pada kehidupan sosial.
Comte membagikan sosiologi atas statika social dan dinamika social dan sosiologi mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
a)      Bersifat empiris yaitu didsarkan pada observasi dan akal sehat yang hasilnya tidak bersifat spekulatif.
b)      Bersifat teoritis yaitu selalu berusaha menyusun abstraksi dan hasil observasi.
c)      Bersifat kumulatif yaitu teori-teori sosiologi dibentuk berdasarkan teori yang ada kemudiandiperbaiki, diperluas dan diperhalus
d)     Bersifat nenotis yaitu tidak mempersoalkan baik buruk suatu fakta tertentu tetapi untuk menjelaskan fakta tersebut.
2.      Emile Durkheim
Untuk menjelaskan tentang masyarakat, Durkheim (1859-1917) berbicara mengenaikesadaran kolektif sebagai kekuatan moral yang mengikat individu pada suatu masyarakat. Melalui karyanya The Division of Labor in Society (1893). Durkheim mengambil pendekatan kolektivis (solidaritas) terhadap pemahaman yang membuat masyarakat bisa dikatakan primitif atau modern. Solidaritas itu berbentuk nilai-nilai, adat-istiadat, dan kepercayaan yang dianut bersama dalam ikatan kolektif. Masyarakat primitif/sederhana dipersatukan oleh ikatan moral yang kuat, memiliki hubungan yang jalin-menjalin sehingga dikatakan memiliki Solidaritas Mekanik. Sedangkan pada masyarakat yang kompleks/modern, kekuatan kesadaran kolektif itu telah menurun karena terikat oleh pembagian kerja yang ruwet dan saling menggantung atau disebut memiliki Solidaritas Organik .
Selanjutnya dalam karyanya yang lain The Role of Sociological Method (1895), Durkheim membuktikan cara kerja yang disebut Fakta Sosial, yaitu fakta-fakta dari luar individu yang mengontrol individu untuk berpikir dan bertindak dan memiliki daya paksa. Ini berarti struktur-struktur tertentu dalam masyarakat sangatlah kuat, sehingga dapat mengontrol tindakan individu dan dapat dipelajari secara objektif, seperti halnya ilmu alam. Fakta sosial terbagi menjadi dua bagian, material (birokrasi dan hukum) dan nonmaterial (kultur dan lembaga sosial).
Dua tahun kemudian melalui Suicide (1897), Durkheim berusaha membuktikan bahwa ada pengaruh antara sebab-sebab sosial (fakta sosial) dengan pola-pola bunuh diri. Dalam karya itu disimpulkan ada 4 macam tipe bunuh diri, yakni bunuh diri egoistik (masalah pribadi), altruistik (untuk kelompok), anomik (ketiadaan kelompok/norma), dan fatalistik (akibat tekanan kelompok). Berdasarkan hal itu Durkheim berpendapat bahwa faktor derajat keterikatan manusia pada kelompoknya (integrasi sosial) sebagai faktor kunci untuk melakukan bunuh diri.
Melalui karya-karyanya, Durkheim selalu berpijak pada fungsi kolektif sebagai bentuk aktivitas sosial, fakta sosial, dan kesatuan moral. Durkheim mewakili kutub struktural dari perdebatan “struktural” versus “tindakan sosial” atau perdebatan “konsensus” versus “konflik” yang berlangsung sepanjang sejarah sosiologi.
3.      Karl Marx
Karl Marx (1818-1883) melalui pendekatan materialisme historis percaya bahwa penggerak sejarah manusia adalah konflik kelas. Marx memandang bahwa kekayaan dan kekuasaan itu tidak terdistribusi secara merata dalam masyarakat. Oleh karena itu kaum penguasa yang memiliki alat produksi (kaum borjuis/kapitalis) senantiasa terlibat konflik dengan kaum buruh yang dieksploitasi (kaum proletar).
Menurut Marx, sejarah segala masyarakat yang ada hingga sekarang pada hakikatnya adalah sejarah konflik kelas. Di zaman kuno ada kaum bangsawan yang bebas dan budak yang terikat. Di zaman pertengahan ada tuan tanah sebagai pemilik dan hamba sahaya yang menggarap tanah bukan kepunyaannya. Bahkan di zaman modern ini juga ada majikan yang memiliki alat-alat produksi dan buruh yang hanya punya tenaga kerja untuk dijual kepada majikan. Di samping itu juga ada masyarakat kelas kaya (the haves) dan kelas masyarakat tak berpunya (the haves not). Semua kelas-kelas masyarakat ini dianggap Marx timbul sebagai hasil dari kehidupan ekonomi masyarakat
Proposisi utama Marx mengatakan bahwa kapitalisme adalah bentuk organisasi sosial yang didasarkan pada eksploitasi buruh oleh para pemilik modal. Kelas borjuis kapitalis mengambil keuntungan dari para pekerja dan kaum proletar. Mereka secara agresif mengembangkan dan membangun teknologi produksi. Dengan demikian kapitalisme menciptakan sebuah sistem yang mendunia.
Sosiologi Marxis tentang kapitalisme menyatakan bahwa produksi komoditas mau tak mau membawa sistem sosial yang secara keseluruhan merefleksikan pengejaran keuntungan ini. Nilai-nilai produksi merasuk ke semua bidang kehidupan. Segala sesuatunya, penginapan, penyedia informasi, rumah sakit, bahkan sekolah kini menjadi bisnis yang menguntungkan. Tingkat keuntungannya menentukan berapa banyak staf dan tingkat layanan yang diberikan. Inilah yang dimaksud Marx bahwa infrastruktur ekonomi menentukan suprastruktur (kebudayaan, politik, hukum, dan ideologi).
Pendekatan Sosiologi Marxis menyimpulkan mengenai ide pembaruan sosial yangtelah terbukti sebagai ide yang hebat pada abad XX, sebagai berikut (Osborne, 1996: 50):
a)      Semua masyarakat dibangun atas dasar konflik.
b)      Penggerak dasar semua perubahan sosial adalah ekonomi.
c)      Masyarakat harus dilihat sebagai totalitas yang di dalamnya ekonomi adalah faktor dominan.
d)     Perubahan dan perkembangan sejarah tidaklah acak, tetapi dapat dilihat dari hubungan manusia dengan organisasi ekonomi.
e)      Individu dibentuk oleh masyarakat, tetapi dapat mengubah masyarakat melalui tindakan rasional yang didasarkan atas premis-premis ilmiah (materialisme historis).
f)       Bekerja dalam masyarakat kapitalis mengakibatkan keterasingan (alienasi).
g)      Dengan berdiri di luar masyarakat, melalui kritik, manusia dapat memahami dan mengubah posisi sejarah mereka.
Melalui kritik ilmiah dan aksi revolusioner, masyarakat dapat dibangun kembali.
Sosiologi Marxis ini selanjutnya dikembangkan oleh tokoh-tokoh abad XX, seperti Gramsci, Adorno, Althusser, dan Habermas.
4.      Max Weber
Max Weber (1864-1920) tidak sependapat dengan Marx yang menyatakan bahwa ekonomi merupakan kekuatan pokok perubahan sosial. Melalui karyanya, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Weber menyatakan bahwa kebangkitan pandangan religius tertentu– dalam hal ini Protestanisme– yang membawa masyarakat pada perkembangan kapitalisme. Kaum Protestan dengan tradisi Kalvinis menyimpulkan bahwa kesuksesan finansial merupakan tanda utama bahwa Tuhan berada di pihak mereka. Untuk mendapatkan tanda ini, mereka menjalani kehidupan yang hemat, menabung, dan menginvestasikan surplusnya agar mendapat modal lebih banyak lagi.
Pandangan lain yang disampaikan Weber adalah tentang bagaimana perilaku individu dapat mempengaruhi masyarakat secara luas. Inilah yang disebut sebagai memahami Tindakan Sosial. Menurut Weber, tindakan sosial dapat dipahami dengan memahami niat, ide, nilai, dan kepercayaan sebagai motivasi sosial. Pendekatan ini disebu tverstehen (pemahaman). Weber juga mengkaji tentang rasionalisasi. Menurut Weber, peradaban Barat adalah semangat Barat yang rasional dalam sikap hidup. Rasional menjelma menjadi operasional (berpikir sistemik langkah demi langkah). Rasionalisasi adalah proses yang menjadikan setiap bagian kecil masyarakat terorganisir, profesional, dan birokratif. Meski akhirnya Weber prihatin betapa intervensi negara terhadap kehidupan warga kian hari kian besar.
Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik.

v Kegunaan Teori
Bagi seseorang yang mempelajari sosiologi maka teori-teori tersebut mempunyai beberapa kegunaan antara lain:
a)      Suatu teori atau beberapa teori merupakan ihtisar daripada hal-hal yang telah diketahui dan diuji kebenarannya yang menyangkut obyek yang dipelajari sosiologi.
b)      Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada seseorang yang memperdalam pengetahuannya di bidang sosiologi.
c)      Teori berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang dipelajari oleh sosiologi.
d)     Suatru teori akan sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina stuktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi yang penting untuk penelitian.
e)      Pengetahuan teoritis memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengadakan proyeksi sosial, yaitu usaha untuk mengetahui arah mana msayarakat akan berkembang dan atas dasar fakta yang diketahui pada masa yang lampau dan masa dewasa ini.
f)       Mengorganisasikan dan menyimpulkan pengetahuan tentang suatu hal. Ini berarti bahwa dalam mengamati realitas kita tidak boleh melakukan secara sepotong-sepotong. Kita perlu mengorganisasikan dan mensintesiskan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan nyata. Pola-pola dan hubungan-hubungan harus dapat dicari dan ditemukan. Pengetahuan yang diperoleh dari pola atau hubungan itu kemudian disimpulkan. Hasilnya (berupa teori) akan dapat dipakai sebagai rujukan atau dasar bagi upaya-upaya penelitian berikutnya.
g)      Fungsi kontrol yang bersifat normatif. Asumsi-asumsi teori dapat berkembang menjadi nilai-nilai atau norma-norma yang dipegang dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, teori dapat berfungsi sebagai sarana pengendali atau pengontrol tingkah laku kehidupan manusia.
h)      Bersifat Generatif. Fungsi ini terutama menonjol di kalangan pendukung aliran interpretif dan kritis. Menurut aliran ini, teori juga berfungsi sebagai sarana perubahan sosial dan kultural serta sarana untuk menciptakan pola dan cara kehidupan yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar